Millenials dan Copyright

Seishya Zolanita Elzila (1506685952)

Di era digital ini, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hiburan. Tidak perlu lagi pergi jauh ke luar rumah untuk menghilangkan penat. Kalau mau nonton film, tinggal streaming. Kalau mau dengerin lagu juga tinggal download di website yang ada di internet dan dengerin di gadget masing – masing. Bahkan sekarang sudah banyak banget layanan penyedia streaming musik seperti Joox dan Spotify. Di Youtube juga sudah banyak film layar lebar Indonesia, berbagai program TV, dan konser – konser artis yang diunggah oleh satu orang. Namun, tahukah kamu kalau itu merupakan tindakan yang melanggar hak cipta?
Hak cipta, dalam bahasa Inggris disebut dengan copyright, adalah perlindungan hukum hak pencipta suatu karya. Menurut Konstitusi US, hak cipta mempunyai tujuan untuk mempromosikan perkembangan dari sains dan seni yang berguna. Mereka percaya bahwa jika orang bisa mendapatkan keuntungan dari pekerjaan mereka, satu negara juga akan mendapat keuntungan yang sama (Turow,  2014). Internet (khususnya yang disebut fase Web 2.0), media digital dan jaringan file-sharing mempunyai dorongan untuk dibuat adanya hukum hak cipta, menimbulkan pertanyaan apa yang sebenarnya adil untuk diterapkan di era digital (Collins, 2008). Akhirnya, dari kreativitas yang ada dan perkembangkan teknologi, menimbulkan satu media sebagai pusat untuk mendistribusikan dan mengkonsumsi konten seperti Youtube.
Pasti kita sering kan kalo gabut (re: gaji buta aka ga ada kerjaan) langsung ke website yang kita suka terus streaming film yang belum sempet ditonton disana seperti di lk21.org atau nonton drama Korea favorit di dramafire.com. website yang menyediakan berjuta film (dan juga berjuta iklan, karena banyak banget iklannya heheh) itu memang sudah ga diragukan lagi dapat menyediakan film – film dengan kualitas cukup baik dan subtitle memadai untuk ngisi waktu luang. Teman – teman nyadar gaksih sebenernya saat kita nonton di website – website seperti yang sudah disebutkan itu, kita mendukung perbuatan pelanggaran hak cipta. Apalagi kalo yang kita tonton itu film Indonesia. Nah kegiatan itu juga tuh yang membuat film Indonesia ga banyak berkembang. Produsernya pada males karena profitnya dikit. Kecanggihan teknologi membuat orang – orang lebih memilih ngebajak film. Sayang banget!

Selain perbuatan – perbuatan pelanggaran hak cipta yang secara tidak langsung kita lakukan, terdapat banyak banget pelanggaran hak cipta di Indonesia yang sampai masuk ranah hukum. Di Indonesia, UU terkait hak cipta diatur di UU No. 28 tahun 2014.
Kalo dicari di Google nih, ada sekitar 441,000 hasil (0.64 detik) mengenai pelanggaran hak cipta di Indonesia pada tahun 2016. Banyak banget kasus yang bisa ditemukan seperti pelanggaran hak cipta yang diduga dilakukan tempat karaoke Inul Vizta hingga pelanggaran hak cipta yang diduga dilakukan oleh restoran cepat saji A&W. Ada juga pelanggaran hak cipta yang diduga dilakukan oleh kanal ID-IGF lewat kanal youtube-nya. Youtube melakukan takedown terhadap kanal tersebut karena sistemnya merasa ID-IGF melakukan pelanggaran hak cipta terhadap lagu Indonesia Raya yang diklaim dimiliki oleh PT Aquarius Musikindo. Padahal, di UU No. 28 tahun 2014 huruf a menyebutkan  “pengumuman, pendistribusian, komunikasi dan/atau penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli” tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Hal ini bisa dikategorikan sebagai fair use.
Apa itu fair use? Fair use adalah saat dimana seseorang atau sebuah lembaga dapat menggunakan karya orang lain tanpa meminta izin karena bukan digunakan untuk keperluan komersil (Turow, 2014). Contohnya adalah yaa lagu kebangsaan kita itu. Kita dapat nge-cover lagu kebangsaan, terus upload videonya di Youtube atau Instagram dengan bebas tanpa perlu izin kemanapun. Contoh lainnya, jika kita me-fotocopy jurnal atau buku untuk kepentingan akademis. Seperti yang kita tau, buku dan jurnal kan mahal banget tuh, nah itu gapapa kalo difotocopy atau pake e-book-nya jika memang untuk keperluan pendidikan. Yey.

Jadi sebagai millennials yang baik yuk kurang – kurangin streaming online di website illegal dan kalau mau dengerin lagu stop download yang bajakan dan mendingan dengerin streaming di aplikasi seperti Joox dan Spotify. Hehe.

Referensi:
Collins, Steve. 2008. Recovering Fair UseM/C Journal vol. 11, number 6 
Turow, Joseph. 2014. Media Today. Edisi Kelima. Routledge: New York.


CONVERSATION

1 komentar:

Back
to top